Senin, 09 Juli 2012

Resensi novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu


Tittle : Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Author : Tere-Liye
Penerbit : Republika
Tanggal Terbit : Maret-2009
Halaman : 427 Halaman
Price : Rp. 60.000,00

Unik mungkin itu kata pertama yang bisa terungkapkan untuk novel ini, Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Tema dan jalan cerita yang mungkin jarang atau hampir tidak pernah terpikirkan oleh kebanyakan orang. Memang Tere-Liye –sapaan akrab pengarang- cukup mahir untuk merangkai kata demi kata menjadi kalimat, merajut potongan-potongan kejadian menjadi sebuah lembaran hidup yang utuh dalam novel ini (maaf agak lebay!). Tapi memang benar, pembaca hampir sulit untuk tidak membuka lembaran demi lembaran untuk terus membacanya dalam satu kali dudukan.

           Bagi saya, membaca novel ini seperti belajar tentang kearifan. belajar soal kesederhanaan dan keikhlasan menerima. Belajar senantiasa berbaik sangka, belajar bahwa untuk banyak hal, mengalah itu bukan berarti kalah dan tidak membalas itu bukan berarti tak berdaya ataupun tidak bisa apa-apa. Adakalanya mengalah berarti bebas, bebas dari nafsu untuk membalas, bebas menerima situasi apa adanya, menjadi apa adanya.
Novel ini membuat saya semakin percaya bahwa hidup ini adil, tak terbantahkan lagi, bahwa hidup ini adil. Sebab penciptanya adil dan mengatur semua dengan keadilanNya.
aku hanya harus melihatnya dari sisi yang berbeda ketika aku mulai ragu akan hal itu. satu sisi yang bukan lewat kacamataku, dan tere liye -seperti yang terdapat di bagian belakang buku ini-telah sukses membuat saya menjadi paham bahwa hidup ini sungguh sederhana. Bekerja keras namun selalu merasa cukup, mencintai berbuat baik dan berbagi, senantiasa bersyukur dan berterima kasih. maka sejatinya kita sudah menggenggam kebahagiaan hidup ini.
novel ini membuatku belajar.
belajar bersikap.
belajar menjadi bijak

Dan novel ini juga mengungkapkan lika-liku pahit-manisnya kehidupan yang banyak kali tak dapat dinalar oleh logika manusia. Potongan-potongan hidup manusia yang sadar atau tidak sadar merupakan suatu siklus sebab à akibat, terkait satu sama lain, menjalin hubungan yang pada akhirnya jika manusia diberi kesempatan untuk mengetahuinya maka semua akan tercengang dengan jalinan klip-klip hidupnya selama ini, saling terkait dan tak terduga. 

Satu pemikiran yang paling membuat saya kagum yaitu pemaknaan dari “kehilangan.” ‘Semua kehilangan itu menyakitkan . …dan cara terbaik untuk memahaminya adalah selalu dari sisi yang pergi. Bukan dari sisi yang ditinggalkan…’ Maka kemudian tidak akan ada lagi pertanyaan lanjutan yang mungutuk langit seperti ‘Kenapa Tuhan selalu mengambil sesuatu yang menyenangkan dari hambanya? apa semua kesedihan ini kurang menyakitkan?’, dst. Keren, kan? Memang, Tere-liye penulis handal yang merajut puzzle-puzzle kehidupan sang lakon seperti Tuhan mengarang skenario kehidupan makhluk-maklukNya (walaupun tidak sesempurna Tuhan Yang Maha Mengetahui). Empat jempol untuk Tere-Liye. Novel yang tak terbayangkan isinya, mantep, jos poko’e (hehehe)…

Baiklah, novel setebal 426 halaman ini bercerita tentang seseorang yang mempunyai lima pertanyaan besar dalam hidupnya. Lima pertanyaan sederhana yang mungkin banyak orang memikirkannya, yaitu:
Apakah cinta itu?
Apakah hidup ini adil?
Apakah kaya adalah segalanya?
Apakah kita memiliki pilihan dalam hidup?
Apakah makna kehilangan?
Yang kemudian kelima pertanyaan tersebut dijawab satu per satu secara berurutan dengan serentetan peristiwa masa lalu dengan jawaban yang bijak dan sederhana pula.

Dalam novel ini, kita berkenalan dengan tokoh utama bernama Ray. Seorang remaja tanggung yang tinggal di panti asuhan dengan penjaga panti sok-suci. Rehan Raujana, nama yang diberikan istri penjaga panti yang telah meninggal, mengganti namanya menjadi Ray. Hanya Ray, karena panjang-pendeknya suatu nama, ia akan tetap dipanggil dengan nama pendek. Orang tuanya meninggal saat terjadi kebakaran, sehingga ia tinggal dipanti asuhan. Ia tinggal di Panti Asuhan yang dimiliki orang tamak. Ia dihukum berkali-kali atas perbuatan nakalnya, sebuah perlawanan atas perlakuan penjaga panti. Ia cerdas, maka ia melawan. Ketika di panti, ia selalu bertanya: “Begitu banyak panti asuhan di kota ini, mengapa ia harus bertahun-tahun tinggal di panti seperti ini?” Maka ketika ia beranjak enam belas, di pagi hari raya, ia memutuskan untuk mencuri uang di kantor penjaga panti dan kabur. Tidak sengaja, ia menemukan potongan masa lalunya di sana.

Rey sempat menjadi preman karena memutuskan kabur dari Panti Asuhan dan hidup di jalanan. Di luar panti, Ray menjalani kehidupan keras sebagai anak jalanan. Namun, di jalanan, ia menemukan kebahagiaannya. Ia bisa makan semaunya tanpa di jatah seperti di panti, ia bisa tidur semaunya, dan ia bebas melakukan apa pun semaunya. Di jalanan ini pula lah, Ray menjalani hidupnya yang gelap. Mencuri, berjudi, mabuk.
Tapi kemudian ia menemukan kehidupan yang berbeda di ibukota, setelah peristiwa kemenangan besarnya yang berakhir terdamparnya ia di salah satu rumah sakit ibukota. Di ibukota, ia tinggal di sebuah Rumah Singgah. Bertemu dengan anak-anak jalanan berjuta mimpi masa depan yang lebih baik.
Rey memutuskan keluar dari rumah penampungan dan kembali hidup gelandangan. Ngamen dari gerbong Kereta satu ke gerbong lainnya. Tinggal di kolong jembatan. Rey suka naik tower air, menyendiri dan melihat rembulan.

        Kehidupan Rey berubah drastis setelah nekad ikut mencuri berlian di sebuah Bank Internasional. Rey pulang kampung dan jatuh cinta pada Si gigi kelinci. Mereka menikah. Rey hidup bahagia karena dipercaya dan diangkat sebagai kepala mandor.
Sayang kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Istrinya meninggal saat melahirkan. Rey kembali ke kota dan merintis usaha yang sukses luar biasa. Tapi Rey jatuh sakit saat semua impian yang bahkan tak pernah ia bayangkan telah menjadi nyata. Rey tetap merasa hampa, kosong, sepi meski bergelimpang harta. Rey masih Tapi Rey diberi kesempatan me-rewind masa lalunya. Merenungkannya. Lalu memperbaikinya.
Novel ini mengajarkan kita tentang kehidupan. Pasti ada sebab akibat yang melatar belakangi sebuah ujian kehidupan. Dan setiap pertanyaan yang kita ajukan -yang kadang cenderung menyalahkan Tuhan- pasti ada jawaban dan hikmah dibalik ujian kehidupan.

       Ketika kau merasa hidupmu menyakitkan dan merasa muak dengan semua penderitaan maka itu saatnya kau harus melihat ke atas, pasti ada kabar baik untukmu, janji-janji, masa depan. Dan sebaliknya, ketika kau merasa hidupmu menyenangkan dan merasa kurang dengan semua kesenangan maka itulah saatnya kau harus melihat ke bawah, pasti ada yang lebih tidak beruntung darimu. Hanya sesederhana itu.
Tere-Liye memang pandai membuat para pembacanya sesak karena haru, bahkan menitikkan air mata. Membaca beberapa karya Tere-Liye, dan berkali-kali pula saya banjir air mata. Sungguh menyentuh. Muncul sebuah pertanyaan besar dalam benak saya: “Apa yang ia lakukan ketika menulis karya-karyanya hingga begitu menyentuh?”

Hidup adalah sebab-akibat. Satu peristiwa menjadi sebab peristiwa yang lain. Akibat yang dihasilkan bisa jadi menjadi sebab peristiwa lainnya. Semua cerita kehidupan saling terhubung. Tak ada satupun yang meleset dari skenario-Nya

Cukup sekian resensi bukunya. Dua hal yang ingin saya wasiatkan. Pertama, semoga dengan membaca kita selalu mendapat inspirasi. Dan kedua, semoga kita terus mendapat pencerahan disela-sela nafas yang tersisa. Terima kasih

1 komentar:

  1. Baru minggu kemaren aq baca buku ini.. bagus sekali isinya ..
    dan sekarang masih baca novel karya tere liye yang lain,, "Ayahku Bukan Pembohong" dan ntar berlanjut "Rindu"

    Salam kenal ya,, ditunggu kunjungan baliknya http://muhmail.blogspot.com/2015/08/lima-pertanyaan-dalam-novel-rembulan.html

    BalasHapus